Persediaan pupuk di salah satu toko pupuk di Tigarunggu, Kecamatan Purba, Simalungun, Sumut, Rabu (6/4/2022). (Foto : Matra/FebP).
(Matra, Simalungun) – Para petani tanaman pangan di Tigarunggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) hingga kini masih banyak yang mengeluhkan mahalnya harga pupuk. Sementara untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, para petani di daerah tersebut masih tetap kesulitan.
Edo Purba (24), seorang petani di Tigarunggu kepada medialintassumatera.com (Matra) mengatakan, para petani di daerah itu masih banyak yang mengeluhkan mahalnya harga pupuk di toko-toko pupuk setempat. Mahalanya harga pupuk membuat petani terpaksa mengurangi pembelian pupuk dan bahkan tidak sedikit petani yang menunda pembelian pupuk.
Sedangkan pupuk bersubsidi di Tigarunggu sulit didapatkan petani, termasuk petani yang masuk anggota kelompok tani. Kondisi tersebut membuat petani merugi karena harga jual produksi pertanian tidak sebanding dengan mahalnya harga pupuk.
"Harga pupuk di Tigarunggu ini tidak sesuai dengan harga hasil pertanian. Harga pupuk sangat mahal, sedangkan harga hasil pertanian seperti sayur-mayur dan tanaman pangan relative murah. Kondisi tersebut membuat petani merugi,”katanya.
Edo mengharapkan pihak pemerintah bisa mengatasi mahalnya harga pupuk agar petani tidak sampai kesulitan memupuk tanaman pangan mereka. Kemudian pemerintah juga diharapkan bisa menyembangkan harga pupuk dengan hasil pertanian agar petani bisa mendapatkan hasil usaha tani.
“Kalau bisa adalah perhatian kepala daerah terhadap para petani mengenai pupuk ini. Hal itu perlu agar para petani bisa lebih mampu membeli pupuk atau tidak terbebani biaya membeli pupuk,”katanya.
Sementara itu, Friyanto Purba (25), salah satu penjual pupuk di Tigarunggu menjelaskan, harga pupuk di Tigarunggu beragam atau bervariasi. Ada jenis pupuk yang memiliki harga RP 165.000 - Rp 200.000/sak. Harga pupuk cap Daun Rp 165.000/sak dan pupuk Boron Rp 200.000/sak.
“Sedangkan harga pupuk urea nonsubsidi yang saya jual Rp 560.000/sak. Pupuk urea bersubsidi tidak ada kami jual karena pupuk bersubsidi tersebut didistribusikan kepada petani melalui kelompok tani (KT) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Ada juga toko pupuk yang menjual pupuk bersubsidi. Tetapi toko pupuk tersebut biasanya sudah mendapatkan izin distribusi dari distributor,”katanya.
Dijelaskan, para petani di Tigarunggu hingga kini masih banyak mengeluhkan mahalnya harga pupuk. Namun para pedagang pupuk tidak bisa mengatasi kesulitan petani tersebut. Masalahnya para pedagang pupuk juga membeli pupuk cukup mahal dari distributor.
“Kami juga bingung memberi solusi kepada petani. Soalnya kami juga membeli pupuk cukup mahal. Bahkan kami para pedagang sampai berebut membeli pupuk untuk kebutuhan petani,”katanya.
Menurut Friyanto, untuk harga pupuk yang mereka jual, mereka mengikuti ketetapan harga pukuk dari distributor. Para pedagang tidak ada memainkan harga pupuk. Harga pupuk yang dijual kepada petani tetap sesuai standar harga pupuk di pasaran.
“Kami berharap kepala daerah dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menangani pupuk di Indonesia jangan ada monopoli pupuk. Kamudian pangsa pasar pupuk juga perlu diperluas ke daerah. Petrokimia misalnya memproduksi NPK. Mereka "kong kali kong" dengan distributor agar menjadi distributor tunggal di Sumut. Kalau seperti ini terus, masalah pupuk tidak bisa diselesaikan,”katanya.
Dikatakan, jika produsen atau distributor pupuk memberikan wewenang kepada para pedagang (direct sharing) menjual pupuk, distribusi pupuk pasti cepat dan petani tidak mengeluh kelangkaan dan mahalnya harga pupuk.
“Jadi kami berharap bisa mendapatkan pupuk langsung dari BUMN yang menangani pupuk ini, bukan dari agen atau distributor lagi,”katanya. (Matra/FebP).
Posting Komentar