Oleh: Riana Manihuruk

Natal selalu membawa pesan universal tentang kasih, kepedulian, dan kehadiran harapan bagi mereka yang sedang berada dalam kesulitan. Namun pada Natal 25 Desember 2025, pesan itu terasa lebih nyata ketika Maruarar Sirait, salah satu menteri dalam pemerintahan, mengambil langkah yang mencuri perhatian publik: mengarahkan kolekte Natal untuk membantu masyarakat Palestina.

Keputusan ini bukan sekadar tindakan simbolis. Di tengah konflik yang terus menorehkan luka bagi warga sipil Palestina, bantuan kemanusiaan dalam bentuk apa pun dapat membuka ruang harapan. 

Dari bantuan pangan, kesehatan, hingga dana kemanusiaan, setiap uluran tangan berarti kesempatan bagi mereka untuk bertahan hidup di tengah situasi yang tidak menentu.

Maruarar Sirait melihat momentum Natal 2025 sebagai ruang untuk menghidupkan kembali nilai dasar kemanusiaan. Menurutnya, kasih tidak pernah mengenal batas; ia melampaui agama, suku, bahkan garis negara. Semangat inilah yang ingin ia bawa keluar dari gedung gereja dan menjangkau mereka yang jauh dari tanah air.

Tentu saja, langkah ini memunculkan beragam respons. Ada yang memuji langkah tersebut sebagai wujud solidaritas global yang sejalan dengan semangat Indonesia sebagai bangsa yang peduli pada isu kemanusiaan internasional. 

Namun, sebagian suara lain mempertanyakan prioritas, apakah bantuan luar negeri seharusnya didahulukan ketika kebutuhan dalam negeri juga masih banyak?

Perbedaan pandangan ini wajar dan sehat dalam ruang diskusi publik. Ia mengingatkan bahwa kebijakan kemanusiaan selalu berada pada pertemuan antara nilai moral, realitas sosial, dan harapan masyarakat.

Namun terlepas dari silang pendapat itu, keputusan Maruarar Sirait memberi pesan kuat yang melampaui polemik, Natal bukan sekadar perayaan liturgis, tetapi ajakan untuk menghadirkan kasih dalam tindakan nyata. 

Bila sumbangan itu benar-benar sampai ke tangan masyarakat Palestina, ia akan menjadi jembatan kecil tapi berarti, pengingat bahwa manusia pada dasarnya terhubung oleh rasa peduli yang sama.

Di tengah dunia yang sering terasa penuh perpecahan, langkah ini menghadirkan sebuah cahaya kecil. Cahaya yang mengingatkan kita bahwa kemanusiaan tetap menjadi bahasa paling universal yang mampu mempersatukan siapa pun, dari Indonesia hingga Palestina.(Penulis Adalah Warga Asal Hutaimbaru Tinggal di Canada)