. Saatnya Petani Sawit di Sumatera Manfaatkan Limbah Sawit untuk Pakan Ikan

Saatnya Petani Sawit di Sumatera Manfaatkan Limbah Sawit untuk Pakan Ikan

Panen ikan dari hasil budi daya di Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Ditjen Perikanan Budi daya KKP/Mongabay Indonesia
(Matra, Jambi)-Sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia berlimpah limbah kelapa sawit, khususnya di Pulau Sumatera. Namun, pemanfaatan limbah yang tersedia sepanjang tahun belum banyak dilakukan. Akibatnya, 94 persen limbah kelapa sawit atau bungkil (palm kernel meal/PKM) selalu diekspor setiap tahunnya. Sisanya digunakan di dalam negeri. 

Saat PKM diekspor, kebutuhan pakan ikan dengan harga terjangkau semakin meningkat. Itu artinya, pakan ikan dengan bahan baku bukan berasal dari impor juga harus dikembangkan. Padahal PKM merupakan salah satu bahan baku pakan ikan karena mengandung protein sangat tinggi.

Kualitas pakan ikan dari PKM setara impor, sehingga bisa dijual murah di dalam negeri dan sekaligus meningkatkan produksi perikanan budi daya.

Sejak lama, Sumatera dikenal sebagai salah satu penghasil kelapa sawit di Indonesia dan juga dunia. Di pulau ini, hampir semua provinsi memiliki perkebunan kelapa sawit yang luas, salah satunya di Sumatera Selatan. Dengan produksi yang tinggi, maka limbah kelapa sawit juga dipastikan tersedia melimpah.

Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah membidik Sumatera Selatan (Sumsel) sebagai salah satu provinsi percontohan pemanfaatan limbah kelapa sawit atau bungkil (palm kernel meal/PKM) sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan mandiri. Upaya produksi itu melibatkan Badan Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang ada di Indonesia.

Dirjen Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan Sumsel dijadikan provinsi percontohan karena PKM selalu tersedia sepanjang tahun. Sehingga pembuatan pakan ikan tidak kesulitan bahan baku.

“Indonesia adalah penghasil PKM terbesar kedua di dunia, setelah Malaysia. Bahan baku tersebut bisa dijadikan untuk membuat pakan ikan patin,” ucapnya, di Banyuasin, Sumsel.

Sekitar 94 persen limbah kelapa sawit atau bungkil (palm kernel meal/PKM) selalu diekspor setiap tahunnya. Padahal PKM dengan kandungan protein tinggi bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan. Foto : Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia
Jika Sumsel berhasil mengembangkan pakan ikan dari bungkil sawit, Slamet optimis kalau ketergantungan bahan baku pakan ikan impor, yaitu tepung ikan, bisa dikurangi. Selama ini tepung ikan masih didominasi dari produksi luar negeri.

Slamet menjelaskan, pengembangan pakan ikan mandiri dari PKM sudah dilakukan bersama FAO sejak 2019 ini. Pengembangan dilakukan dengan menggelar uji coba pakan melalui pembandingan efektivitas dan efisiensi dari formula pakan yang direkomendasikan FAO dengan pakan yang biasa digunakan oleh para pembudi daya ikan patin.

Pakan ikan PKM khusus patin itu diharapkan bisa diproduksi secara mandiri oleh produsen pakan skala kecil di Indonesia dengan kualitas yang tinggi dan hemat biaya. Uji coba tersebut melibatkan enam kelompok pembuat pakan ikan yang ada di Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang, Sumsel.

“Pakan mandiri hampir 80 persen memang digunakan untuk pakan ikan patin,” ujarnya.
Hasil pakan ikan mandiri dengan bahan baku bungkil sawit di Riau. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia.
 
Impor

Selain dapat meningkatkan produksi ikan air tawar secara signifikan dan mengurangi ketergantungan pada tepung ikan impor, pembuatan pakan ikan dari PKM juga bisa lapangan kerja alternatif bagi penduduk di sekitar lokasi budi daya perikanan.

Slamet mengatakan saat ini pakan ikan mandiri semakin diminati pembudi daya ikan skala kecil untuk meningkatkan produksi karena menghemat biaya operasional hingga 30-50 persen dibandingkan penggunaan pakan ikan biasa dengan tepung ikan impor. Kualitas pakan ikan mandiri juga bersaing kualitas dengan pakan hasil produksi pabrik.

Mengingat kandungan protein PKM sangat tinggi, Slamet berharap jika produk PKM yang dihasilkan di Sumsel dan atau provinsi lain, tidak semuanya diekspor ke luar negeri.

“Saya rasa pemanfaatan PKM ini bisa menjadi CSR (tanggung jawab sosial) perusahaan kepada kelompok pakan mandiri yaitu dalam bentuk dukungan pemenuhan kebutuhan PKM bagi bahan baku pakan secara kontinu,” sebutnya.

Sedangkan Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Stephen Rudgard menjelaskan, keberhasilan Indonesia mengembangkan pakan ikan mandiri dari bahan baku PKM menjadikan negara tersebut sebagai rujukan untuk level Asia Pasifik. Bukan saja karena pakan ikan mandiri tersebut murah dan berkualitas, namun karena Indonesia adalah negara pertama di dunia yang berhasil mewujudkan kemandirian pakan ikan.

Dengan keberhasilan tersebut, FAO memberikan apresiasi yang tinggi untuk Indonesia. Hal itu, karena pakan ikan mandiri akan mendorong masyarakat untuk melaksanakan produksi perikanan budi daya lebih baik dan produktif. Bagi FAO, dukungan kepada Indonesia diharapkan bisa terus mendorong kemandirian pakan ikan yang sudah dimulai dari 2015.

Menurut Stephen, kegiatan pakan ikan mandiri sangat tepat untuk terus dikembangkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, karena itu bisa meningkatkan ketahanan pangan yang saat ini sedang dikampanyekan oleh PBB. Dengan ketahanan pangan yang baik, maka itu bisa mengurangi kelaparan dari penyediaan pangan yang sehat.

“Melalui pakan ikan mandiri, maka kita mampu menyediakan kebutuhan protein yang sehat, yaitu ikan dengan harga yang lebih murah, sehingga akan membantu penanganan kelaparan serta mengurangi malnutrisi di masyarakat,” ungkap dia.

Protein

Sementara, Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan (pokdakan) Jarwo Wagiman mengakui dengan penggunaan pakan mandiri formulasi FAO, pertumbuhan ikan patin yang dipelihara kelompoknya lebih baik dibandingkan dengan penggunaan pakan yang mereka produksi. Dengan pakan yang baru, protein bisa mencapai 28 persen dengan berat panen bisa mencapai lebih dari 600 gram per ekor.

Sedangkan, jika menggunakan pakan hasil produksi sendiri sebelumnya, protein yang dihasilkan pada pakan ikan mandiri maksimal hanya 18 persen saja dengan masa pelihara selama enam bulan dan menghasilkan ukuran 400-500 gram per ekor.

Perbedaan hasil dari penggunaan pakan ikan mandiri hasil formula sendiri dan FAO, menurut Wagiman karena kelompoknya selama ini melaksanakan produksi pakan ikan tanpa melalui proses penepungan terlebih dahulu. Dengan demikian, nutrisi dalam bahan baku kemungkinan besar tidak tercampur dengan sempurna.

“Sedangkan untuk memproduksi pakan formulasi FAO, semua bahan baku harus masuk tahap penepungan baru kemudian dicampur bersamaan dalam mixer,” terang dia.

Bukan karena faktor di atas saja, Wagiman mengakui kalau sebelumnya dia dan kelompoknya tidak tahu tentang potensi protein yang terkandung dalam PKM. Dari FAO, dia tahu kalau PKM mengandung protein yang tinggi hingga 20 persen dan itu diakuinya sangat bagus untuk dijadikan bahan baku pakan ikan mandiri.

Adapun, komposisi pakan hasil formula FAO terdiri dari 7,5 persen silase ikan; 10 persen kepala udang; 34 persen ikan asin; 22,5 persen poles; 21,6 persen bungkil sawit; 4 persen kanji/sagu; 0,25 persen premix; 0, 1 persen multi-enzyme; dan 0,05 persen phytase.
Panen ikan dari hasil budi daya di Banyuasin, Sumatera Selatan.

Pada April 2018, KKP juga menginisiasi pembuatan pakan ikan mandiri dari PKM di Provinsi Riau. Seperti halnya di Sumsel, kebutuhan pakan ikan di Riau juga sebagian besar digunakan untuk produksi budi daya ikan patin yang ada di Kabupaten Kampar.

Untuk itu, KKP menginisiasi pemanfaatan PKM kelapa sawit untuk dijadikan bahan baku pembuatan pakan ikan mandiri. Ketersediaan PKM di Indonesia, dinilai KKP masih sangat melimpah dan 94 persen di antaranya diproduksi untuk kebutuhan pasar luar negeri.(Matra-Mongabay.co.id)

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama