Hendry Chairudin Bangun pada acara Workshop (diskusi-red) Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019, di Aston Hotel Jambi, Kamis (1/8/2019). Nara sumber pada Workshop ini adalah Hendry Chairudin Bangun, Hassanein Rais (Anggota Dewan Pers), Asnawi R MPd (Ketua Bawaslu Provinsi Jambi, Moderator Saman SPt. Sementara peserta Workshop para Jurnalis Cetak, Televisi, Radio, Siber dari berbagai organisasi Pers di Jambi. (Foto Asenk Lee Saragih) |
Oleh: Hendry Chairudin Bangun*
SAYA banyak berkeliling daerah akhir-akhir ini melakukan verifikasi faktual, sebagai petugas Dewan Pers mendata eksistensi media. Senang rasanya melihat media yang dikelola orang muda, yang dengan alasan tertentu mengubah posisinya dari anak buah menjadi Boss. Pada umumnya mereka memiliki cita-cita tinggi.
Ada semangat besar untuk maju, yakni berkontribusi membangun daerahnya melalui pemberitaan yang kritis, yang tidak segan-segan “menegur” kekeliruan pemerintah dalam mengelola wilayah.
Mereka tidak mau didikte, bekerjasama secara terbatas, dan terus berupaya berinovasi dan kreatif menjalankan medianya. Dalam melakukan tugas jurnalistiknya mereka bagai rajawali yang terbang sendiri, mencari informasi, menggali data, pergi ke lapangan, agar beritanya nanti mandiri dan berbeda.
Tetapi banyak yang semangatnya mendirikan media, lebih pada menjadikannya sebagai ladang penghidupan. Berjudi dengan nasib dengan asumsi, apabila media mereka berhasil, mendapat klik tinggi, maka pendapatan akan semakin besar dan kesejahteraan akan meningkat.
Tipe ini biasanya tidak merasa perlu untuk repot-repot mengembangkan produk medianya, cukup meniru dan menjalankan media-media yang terlebih dahulu lahir. Kebanyakan wartawannya hanya duduk-duduk menunggu jumpa pers atau press release, dan menerima informasi tanpa berusaha memperkaya, melengkapi, sehingga ketika diberitakan tidak ada bedanya dengan media saingannya.
Dari sisi jurnalisme, pilihan apapun sah. Kita mengenal di negara-negara maju pun ada berbagai macam media. Ada yang serius, teguh menjalankan prinsip agar dapat menjalankan tugas mulia pers, membela dan memperjuangkan demokrasi, serta menomorsatukan kepentingan publik. Mengoreksi keputusan politisi yang korup, mengungkap skandal, sekaligus memberi solusi.
Namun ada juga media dengan jelas menjadikannya corong kekuasaan, seperti di era Presiden Donald Trump di AS, sehingga dalam produk jurnalistiknya salah atau benar Trump selalu benar.
Sama seperti yang dilakukan Rupert Murdoch dengan sikap medianya yang partisan di sejumlah negara sehingga sempat ada petisi agar dilarang terbit. Tak perlu jauh di negara tetangga juga itu terjadi karena mereka masih perlu izin menerbitkan media.
Begitu pula di era ketika Soeharto masih berkuasa. Rezim perizinan membuat media tidak bisa berbuat banyak. Untuk mendirikan media saja perlu “restu” dari kekuasaan sehingga bisa ditebak pimpinan media akan tahu diri dalam membuat judul atau isi berita, agar tidak menyinggung kekuasaan.
Inilah pula yang membuat keluarga Cendana dapat berbisnis dengan fasilitas pemerintah tanpa pernah dituliss dengan kritis. Mereka melenggang, dapat melakukan apa saja, meski keliru tanpa disorot media.
40 Ribu Lebih
SEKARANG ini Undang Undang Pers no 40 tahun 1999, memberi keleluasaan untuk mendirikan perusahaan pers bagi siapapun, termasuk negara. Dampaknya nyata di lapangan, hampir setiap hari lahir media (siber) baru. Tidak diketahui berapa jumlah media siber saat ini. Pernah diasumsikan, berdasarkan jumlah provinsi dan kabupaten kota di Indonesia, sekitar 40.000.
Dewan Pers bekerjasama dengan Univesitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tengah melakukan survei—bukan sensus—media dan diharapkan hasilnya bisa diketahui pada awal Desember 2021 nanti. Tetapi apakah kelak jumlahnya sudah mencakup media siber yang ada? Tidak tahu.
Saat melakukan kunjungan, beberapa kali saya bertanya ke Boss media siber, untuk mengecek pemahaman atas visi misi mereka. Sebagian besar, tidak faham apa itu visi misi.
Kebanyakan asal menuliskan, tanpa mengerti makna kalimat yang dia tuliskan itu. Padahal visi misi inilah landasaan untuk menjalankan media, mulai dari perencanaan sampai membuat angle berita. Visi misi pula yang membuat news value sebuah media berbeda dengan media lainnya.
Visi misi inilah yang menjadi dasar bagi Pemimpin Redaksi, untuk memberikan perintah penugasan ke para redaktur agar peristiwa yang diliput, berita yang dibuat tidak melenceng dari tujuan pendirian media. Termasuk di dalamnya panjang pendek berita, ragam bahasa, angle penulisan, bahkan narasumber yang dimintai pendapatnya.
Contoh sederhana, sebuah peristiwa perampokan sepeda motor, tentu news value-nya berbeda bagi media nasional dan media lokal, atau koran bisnis dengan koran metropolitan. Mutasi jabatan di lingkungan kabupaten, tidak sama nilai beritanya antara koran setempat dan koran yang terbit di Jakarta.
Kalau visi media lokal adalah menjadikan masyarakatnya lebih cerdas, religius, dan partisipatif dalam pembangunan, tentu saja berita-berita yang disajikan relevan dengan itu.
Perbanyaklah aneka berita pendidikan, perkembangan teknologi, kemajuan di berbagai bidang; tampilkan liputan yang bernuansa keagaman, tokoh yang bisa menjadi teladan di rumah tangga dan kehidupan, orang sukses, dan berita edukasi dan informasi tentang kewajiban warga negara dari berbagai angle dan peristiwa.
Tetapi faktanya isi beritanya malah kegiatan Bupati atau Walikota, program kerja dinas-dinas, rilis apa saja, tanpa mempertimbangkan visi misi medianya. Asal muat supaya beritanya banyak atau kadang karena sudah terlanjur bekerjasama karena ada kontrak. Beritanya gado-gado, tapi karena mungkin kebanyakan timun atau kangkung, dan bumbunya kelebihan garam, maka hidangan berita yang tersaji tidak enak dikunyah.
Maka kalau secara teori isi sebuah media adalah hasil perencanaan, kebanyakan media siber di daerah ini, diisi tergantung apa yang diperoleh dari pihak lain. Bahkan kadang Pemimpin Redaksi tidak bisa memperkirakan apa yang akan dibawa pulang reporternya dari lapangan.
Kekacauan visi misi ini pun terjadi di media siber besar di Jakarta, tidak heran. Ada media ekonomi, yang malahan lebih sibuk mengurusi gossip artis dan berita politik. Ada media ekonomi yang membuat judul beritanya seperti berita olahraga.
Kalau ada tren berita sejarah, maka seketika muncul berita tentang masa lalu,entah peristiwa atau tokoh, yang tidak relevan sama sekali. Apa urusannya membuat berita, siapa pembunuh Kubilai Khan? Siapa yang peduli dengan Ken Dedes atau penyebab runtuhnya Majapahit ? Apa pentingnya berita soal Pangeran Arab yang homoseks? Untuk apa memberitakan agama seorang artis?
Klik bait membuat apa yang sedang viral segera digarap beramai-ramai. Cukup dicarikan dengan satu komentar, jadilah berita baru. Dikait-kaitkan, disambung-sambungkan. Apa saja tentang kecelakaan Vanessa Angel, langsung diutak-atik bahkan sampai sepekan setelah kematiannya.
Mereka ini tidak peduli dengan jurnalisme, karena yang dipedulikan adalah seberapa banyak masyarakat mengklik judul beritanya. Sebab itu berarti uang masuk.
Puluhan ribu berarti sekian juta, sekian ratus ribu atau sekian juga pengklik berarti sekian ratus juga. Ironisnya, banyak pengelola media itu wartawan senior, dulunya wartawan dari media berkualitas.
Pengusaha Media
Dari wartawan menjadi pengusaha media siber, tidak bisa langsung lompat. Dia harus belajar banyak karena ada perbedaan besar antara membuat berita dan “menjual” berita.
Antara mengedit berita dengan memberdayakan berita. Antara mencari informasi dengan mencari peluang dan uang. Antara sekadar menerima gaji dan berpikir bagaimana agar gaji wartawan media kita dapat terus terbayarkan. Dan yang terpenting, karena pernah menjadi wartawan diharapkan mereka ini dalam menjalankan bisnis dengan etika, menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme. Bukan menjadi pedagang yang asal untung.
Dua tantangan harus dihadapi sekaligus, yakni membuat berita di media kita sesuai dengan visi misi dan menjadikannya disukai audiens sehingga berdampak pada ketahanan ekonomi perusahaan.
Membuat berita harus dimulai dari kalkulasi, berapa berita yang dimuat perhari, dan berita macam apa. Lalu kaitannya dengan jumlah wartawan dan editor yang harus dimiliki, dengan level kompetensi macam apa?
Dari sini saja sudah bisa dibayangkan, modal mendirikan media tidak murah, walaupun kini media dibolehkan berkantor di kantor bersama. Mahal karena harus ada alat kerja, alat komunikasi untuk kordinasi, harus memberi gaji minimal setara UMP, harus mengikutkan mereka di BPJS Ketenagakerjaan. Karena ada perencanaan maka setidaknya ada rapat virtual sehari sekali atau kalau mungkin rapat tatap muka. Ada pula rapat evaluasi.
Menjual berita berarti harus memahami pasar media kita. Harus ada survei, pasar masyarakat mana yang diincar, memahami karakter mereka, termasuk status ekonomi sosial audiens. Kalau hanya bermodalkan klik bait, maka itu artinya media kita memperebukan pasar umum yang sudah dikeroyok puluhan atau ratusan competitor. Apakah mampu? Maka lebih baik cari pasar yang masih bisa, meskipun perlu waktu lebih lama untuk mendapatkan audiens.
Artinya kualitas karya jurnalistik yang diproduksi harus berkualitas, menarik, enak dibaca, terpercaya. Dan ini hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang sudah matang, mungkin spesialis, yang pastilah harus diberi kesejahteraan memadai. Ya kembali lagi, modal perusahaan harus kuat, untuk menggaji SDM yang baik.
Saat ini hampir tidak ada celah pasar yang kosong, termasuk lokal yang juga bertebaran media siber. Dengan kapasitas ekonomi terbatas, di dalamnya terikut alokasi anggaran media di APBD, secara logika di sebuah kabupaten hanya ada 10 media yang bisa hidup. Namun kenyataannya ada satu kabupaten/kota, yang jumlah medianya lebih dari 100. Maka kebanyakan seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.
Sejarah
SEJARAH mengajarkan pada kita, media yang bertahan dan berumur panjang bukanlah media yang paling kuat tetapi media yang paling dapat beradaptasi dengan keadaan sambil tetap menjunjung etika bisnisnya.
Ada banyak tantangan media saat ini secara umum, yakni media sosial sudah lebih disukai dibandingkan dengan media massa, dalam mencari informasi. Tentu kita tidak akan bertahan kalau justru mengisi media kita dengan produk media sosial, menjadikannya sebagai rujukan, acuan, misalnya karena sedang viral. Itu sama saja dengan bunuh diri, membiarkan parasite terus menggerogoti tubuh kita. Tetaplah setia pada jurnalisme, ciptakan produk yang bermutu, yang menyentuh kebutuhan publik, menjadi forum untuk diskusi dan dialog masalah yang relevan.
Tantangan kedua adalah kemudahan teknologi yang membuat segalanya dapat tersajikan dengan gratis, sehingga produk media kita pun dapat dilihat dari laman lain tanpa pembaca perlu masuk ke halaman kita. Hasil kerja keras dan penuh keringat kita harus mudah diakses namun hak cipta agar tetap terjaga sehingga hak ekonomi pun terjada. Untuk itu memang harus ada regulasi yang melindungi media yang membayar wartawan dan memutar otak untuk menghasilkan berita.
Namun khusus bagi media lokal, sekarang ini kesempatan untuk menjadi besar justru ada di depan mata apabila mereka menjadi “tuan rumah” untuk semua hal yang terjadi di daerahnya.
Apabila mereka membuat liputan lebih dalam, lebih bermutu, dan lebih cepat, maka justru mereka akan dicari, dikutip, yang ujung-ujungnya memberi pendapatan yang baik. Oleh karena itu media lokal harus makin memperkuat kualitas dan kompetensi wartawannya, fokus pada penggarapan topik-topik lokal yang menarik, dan tentu mengikuti perkembangan isyu di luar yang relevan bagi pembacanya. Sungguh tidak mudah membuat media siber kalau yang ingin dihasilkan adalah media yang berkualitas.
Posting Komentar