. Destinasi Pariwisata Super Prioritas Tanpa Naskah

Destinasi Pariwisata Super Prioritas Tanpa Naskah



Kondisi Jalan Lingkar Danau Toba di wilayah Kabupaten Simalungun tepatnya dari Haranggaol-Hutaimbaru-Bage-Simalungun. (Foto Asenk Lee Saragih)



TAHUN 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas di lima wilayah, yaitu Danau Toba (Sumut), Borobudur (Jateng), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), dan Likupang (Sulut).

Hampir lima tahun pencanangan itu, tetapi hingga hari ini naskah atau dokumen pembangunan tidak pernah dipublikasi. Akibatnya, publik sulit menilai apakah sesuai rencana atau tidak.

Pertanyaan lain, bagaimana jumlah dana yang digelontorkan dibandingkan dengan manfaat atau dampak yang diterima negara dan rakyat?

Saya mengamati secara dekat kawasan Danau Toba sebelum dan setelah dijadikan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).

Sejak awal, saya menyuarakan di media sosial, media konvensional dan berbagai media agar publik diberikan naskah, dokumen lingkungan atau rencana induk kegiatan DPSP.

Fakta di lapangan, ketika Danau Toba dijadikan DPSP yang pengelolaannya diserahkan kepada Badan Otorita Danau Toba (BODT) melalui Perpres Nomor 49 Tahun 2016, menimbulkan konflik dengan penduduk lokal seperti di Desa Sigapiton dan Motung.

Penanganan konflik dilakukan dengan kekerasan. Sampai saat ini konflik itu berkepanjangan karena pendekatan kekuasaan.

Argumentasi pihak pemerintah dan penduduk lokal tidak ada titik temu karena tidak ada naskah yang disepakati sejak awal. Sejatinya ada naskah kajian akademik agar kita memiliki acuan dalam dialog.

Hampir lima tahun kawasan Danau Toba dijadikan DPSP, tetapi belum menunjukkan dampak yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam pengamatan saya, dampak dari DPSP adalah pejabat kementerian terkait dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) silih berganti berdatangan ke Danau Toba dengan kemewahan. Rombongan mereka datang dengan kenderaan-kendaraan mewah.

Realitanya, kunjungan-kunjungan tersebut tidak berdampak banyak ke masyarakat sekitar.

Perubahan yang terjadi setelah Danau Toba menjadi DPSP adalah kehadiran kapal Ihan Batak, Porapora dari Ajibata ke Ambarita, dan kapal Kaldera dari Balige ke Onan Runggu/Sipinggan dan Muara.

Dalam keseharian, penumpang Kaldera sangat minim. Angkutan kapal mewah milik BUMN milik PT. ASDP itu tidak memiliki integrasi dengan transportasi di darat. Jadi, penumpang kapal hanya mereka yang memiliki kendaraan pribadi.

Sejatinya kendaraan umum di darat disiapkan bagi wisatawan agar dapat mengelilingi Danau Toba bersama keluarga. Sebab, cukup banyak wisatawan yang tidak memiliki atau membawa kendaraan pribadi.

Ketika kegiatan MotoGP di Mandalika dianggap sukses, kegiatan yang sama dirancang digelar di Danau Toba, yaitu F1H20 di Balige.

Program tiba-tiba itu memunculkan konflik dengan masyarakat Balige karena terjadi penggusuran. Penggusuran tersebut tanpa persiapan yang matang.

Sementara lomba kedua F1 Powerboat Danau Toba 2023 terpaksa dibatalkan karena adanya angin kencang dan ombak tinggi pada Februari lalu. Presiden Jokowi yang hadir hanya menyerahkan piala pemenang pada race 1.

Karena tidak adanya dokumen pembangunan, pengembangan Danau Toba yang menjadi DPSP dikerjakan menurut selera penguasa.

Masyarakat hanya bisa menonton apa yang terjadi tanpa dapat memberikan kritik dan saran untuk melihat Danau Toba jauh kedepan.
Kondisi Jalan Lingkar Danau Toba di wilayah Kabupaten Simalungun tepatnya dari Haranggaol-Hutaimbaru-Bage-Simalungun. (Foto Asenk Lee Saragih)

Tidak adanya naskah akademik DPSP menunjukkan bahwa program ini sangat kental orientasi proyeknya. Masyarakat lokal yang hidup ratusan tahun tidak dilibatkan dalam mengambil kebijakan.

Padahal dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara nyata memerintahkan agar kegiatan berdampak penting wajib memiliki dokumen lingkungan. Dalam penyusunan dokumen lingkungan diadakan konsultasi publik terlebih dahulu.

Di tengah gelapnya pemahaman masyarakat tentang rencana DPSP Danau Toba, maka hal yang terjadi hampir selama lima tahun kegiatan wisata di Danau Toba, tidak berkelanjutan.

Kegiatan pariwisata seperti F1H20 dampaknya hanya sesaat. Tujuan mulia agar devisa daerah meningkat gagal tercapai.

Event F2H20 mengakibatkan hotel dan penginapan di Balige dan sekitarnya penuh karena dihuni oleh pejabat kementerian terkait dan para pegawai BUMN saja.

Dengan kata lain, manfaat yang berkelanjutan tidak terjadi bagi masyarakat lokal, tetapi hanya dana kementerian dan BUMN yang pindah ke Danau Toba.

Melihat realitas tersebut, maka perlu peninjauan program ini dengan cara menata ulang. Pemerintah dan masyarakat perlu membahas secara komprehensif.

Hal yang sangat prioritas dibahas adalah pembangunan pariwisata dengan melibatkan seluruh kawasan. Selama ini DPSP hanya berpusat di Sibisa dan tidak berdampak ke daerah lain seperti Kabupaten Simalungun, Dairi, Humbang, dan Tapanuli Utara.

Hak-hak masyarakat lokal yang sempat hilang harus dipulihkan dan dibangun konsep pariwisata yang berkelanjutan. Pembangunan pariwisata membutuhkan naskah yang kuat dan seluruh masyarakat dapat mengontrolnya. (S24)









Sumber: Kompas.com

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama