. Warisan Dosa-Dosa Birahi Kekuasaan

Warisan Dosa-Dosa Birahi Kekuasaan

Penolakan warga di Aurduri Kota Jambi terkait degan areal Stoctpile batu bara milik PT. SAS. (Foto: Jamhuri) 

Oleh: Jamhuri

 JAMBI, S24-Sebagai bagian dari pihak penerima beban warisan dosa-dosa birahi kekuasaan era masa lalu, Management PT. Sinar Anugerah Sukses (SAS) lupa kalau Badan Hukum mereka adalah merupakan bagian dari korban kebijakan hasil dari pemikiran yang diduga kuat untuk diyakini adalah merupakan praktek penyalahgunaan wewenang dan jabatan (abuse of Power).

Kebijakan yang bukan hanya sebatas diduga tidak memiliki Kepastian Hukum akan tetapi memang benar-benar cacat hukum. Kebijakan yang disinyalir hasil dari pemikiran yang sedang menderita cacat nalar dan cacat logika serta sesat pikiran. 

Atau setidak-tidaknya pembuat kebijakan tersebut kembali lagi ke PAUD untuk kembali mengikuti proses belajar agar paham dan mengerti bagaimana Moralitas dan Etika atau Filosofis Jabatan untuk membuat sebuah kebijakan. 

Sejumlah fakta administrasi yang ditemukan menunjukan bahwa perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jambi pada tahun 2015 yang lalu disinyalir tidak dilakukan dengan memperhatikan azaz dan norma ataupun kaidah hukum atau tidak sama sekali mencerminkan adanya penerapan Azaz-Azaz Umum Pemeritahan yang Baik (AUPB) yang setidak-tidaknya tercantum di dalam 8 (Delapan) Undang-Undang yang berbeda, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Administasi Pemerintahan serta tertuang di dalam sejumlah yurisprudensi. 


Fakta yang melahirkan dugaan cacat hukumnya perizinan tersebut jelas terlihat pada beberapa fakta hukum, seperti pada keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jambi dengan Nomor 05/Kep.Ka.BPMD-PPT-4/2015 tentang Izin Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Pembangunan Jalan Angkutan Batubara sepanjang 108 Km dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) seluas 70 Hektar di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Muarojambi dan Kota Jambi oleh PT. Sinar Anugerah Sejahtera. 

Jelas Izin lingkungan tersebut dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki keahlian (ekspertise) karena tidak menunjukan keberadaan komponen Kognitif dan sama sekali tidak mengandung baik nilai Intrinsik maupun nilai Instrumental.

Oknum Pembuat Izin Bermain

Oknum Pembuat Izin lingkungan tersebut patut diduga kuat untuk diyakini tidak sama sekali mengerti dan memahami tofografi daerah yang diberikan izin untuk menempatkan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di daerah-daerah yang tidak memiliki pelabuhan, seperti Kabupaten Sarolangun, Batanghari, dan Kota Jambi. 

Bagaimana mungkin Satu Izin Lingkungan Hidup diberlakukan untuk lebih dari satu daerah yang diyakini memiliki tofografi dan aspek geografis, demografis serta aspek sosiologis yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Penolakan warga di Aurduri Kota Jambi terkait degan areal Stoctpile batu bara milik PT. SAS. (Foto: Jamhuri) 

Selain dari itu sang oknum yang tersandera birahi kekuasaan tersebut tidak mengerti defenisi yuridis daripada TUKS, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan dengan ketentuan Pasal 1 angka (4) dan angka (5) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri.  

Pembuat kebijakan wajib kembali belajar untuk membedakan hak dan kewenangan pada tugas pokok dan fungi jabatan yang diemban hingga tidak melanggar ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan yang dimaksud, yang menegaskan bahwa pemberian izin TUKS adalah kewenangan Direktur Jenderal. 

Merujuk pada fiksi hukum maka perizinan tersebut patut diduga kuat untuk diyakini adalah hasil praktek mafia perizinan dan tidak satupun alasan yang mendasar untuk dikatakan diskresi ataupun freies ermessen. Serta tidak satupun argumnetasi hukum (dalil) yang dapat digunakan untuk hukum dapat menerima alasan pembenaran ataupun alasan pemaaf.

Anehnya pihak Management PT. SAS sebagai korban yang dijadikan penerima warisan dosa birahi kekuasaan malah kembali melakukan upaya terselubung untuk mengangkangi hukum dengan melakukan upaya gerilya demi guna untuk mendapatkan persetujuan masyarakat dalam rangka atau akan dipergunakan guna melegalisir sejumlah perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan. 

Dengan indikasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 25 huruf b Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dengan ancaman Pidana berupa kurungan Penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan selama-lamanya 9 tahun dan denda paling sedikit Lima Miliar Rupiah dan paling banyak Lima Belas Miliar Rupiah sebagaimana ketentuan Pasal 68 huruf a undang-undang yang dimaksud.

Selain dari itu patut diduga kuat untuk diyakini adanya perbuatan melawan hukum lainnya yang dilakukan di lokasi yang sama yaitu berupa pelanggaran ketentuan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Upaya untuk mengelabui negara dan hukum oleh pihak perusahaan pertambangan batubara tersebut dengan mengirim utusan guna mendapatkan persetujuan warga masyarakat setempat yang akan dijadikan tameng guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan. 

Tindakan tersebut mendapat penolakan keras dari sejumlah warga, untungnya tidak sampai terjadi tindakan kekerasan dalam aksi spontanitas warga setempat. Aksi gerakan bawah tanah yang tidak mempedulikan aspek sosiologis masyarakat yang akan terpecah belah menjadi dua kubu yaitu kubu pro dan kontra.

Masyarakat dengan kesadaran sendiri mewujudkan peran sertanya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan sebagaimana amanat konstitusional yang mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Gerilya yang merupakan penyampaian bahasa isyarat berisikan pengakuan bahwa pihak investor memang tidak atau belum memiliki izin lingkungan dan sekaligus pengakuan izin yang telah kadaluwarsa tersebut tidak satu bait pun kalimat yang menyebutkan tentang izin Stoctpile. Pengertian TUKS amat sangat berbeda dengan stoctpile, TUKS dengan pengertian sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenhub sebagaimana diatas. 

Apalagi untuk mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat adalah hak yang paling mendasar yang secara konstitusional telah dilindungi oleh negara dengan ketentuan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945. Upaya yang dilakukan oleh pihak investor tersebut menunjukan adanya sikap ketidak pedulian akan ketentuan hukum, hak-hak dan nasib warga masyarakat, karena hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna saja, tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan akan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the antropocentris approach).

Mengingat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan kejahatan. Dengan delik lingkungan dalam undang-undang ini memuat rumusan delik materil dan juga delik formil. 

Dimana perbuatan yang telah dilakukan oleh pihak PT. SAS menyangkut lingkungan hidup yaitu adanya pelaksanaan kegiatan usaha tanpa izin yang diduga kuat untuk diyakini termasuk pada kategori delik formil maka baik atas nama masyarakat setempat maupun atas nama lembaga sosial kontrol kami akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. 

Saatnya negara harus hadir agar tercipta kemanfaatan hukum sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum. Disamping itu kami juga akan minta pihak Aparat Penegak Hukum agar melakukan proses hukum terhadap perizinan yang telah diberikan dan diterima serta dimiliki oleh pihak investor yang dimaksud.(S24-Penulis -Direktur Eksekutif LSM Sembilan) 

 

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama