(Matra)-"Bro, lu kenapa ?" Tanya Birgaldo waktu melihat aku minum banyak sekali ramuan dari seorang ahli kesehatan.
"Gua divonis penyumbatan, bro.." kataku. Birgaldo diam. Aku menyesal, ah ngapain aku kasih tau ya, pasti keluar tulisan dia deh. Dan benar saja, ga berapa lama tulisan mendayu-dayu Birgaldo Sinaga keluar. Tulisan yang aku bilang "lebay".
Tulisan itu viral. Dan ramai-ramai orang mendesakku operasi. Sekumpulan dokter sebuah RS mencariku untuk operasi. Aku menolak. Sampai akhirnya datanglah telpon seorang tokoh yang sudah kuanggap bapakku sendiri, memerintahkan segera operasi, semua biaya sudah dicover. Mau ngomong apalagi ?
Aku di operasi. Tiga ring.
Birgaldo Sinaga mau jadi politisi. Dia mengira disitulah jalan hidupnya. Aku mencoba mencarikan jalannya, tapi sayang dia belum berjodoh. Dia marah karena gagal. Aku marah karena dia tidak ikut apa yang aku katakan.
Kami berpisah ditengah jalan dengan kemarahan yang terpendam. Anehnya, meski begitu, kami saling menanyakan kabar dengan gengsi lewat Eko Kuntadhi. Mirip anak kecil yang jotakan.
Tiba-tiba kudengar dia sakit. Covid. Ah sembuh bentar lagi, pikirku. Nanti kalau sembuh, aku pengen bertegur sapa dengan dia lagi.
Sebelum Birgaldo Sinaga, aku sendiri pernah dihantam Covid. Seminggu lebih isolasi diri. Sendiri. Gila ni penyakit, panasnya beda. Seperti ada bara di seluruh badan. Remuk redam. Halusinasi bayangan orang mati. Covid membuat mental drop ke dasar. Tapi aku gak mau menyerah. Kuteriakkan dengan nada lemah, "Woi, Covid. Teruskan, kita lihat siapa yang paling akhir bertahan.."
Banyak temanku yang mengira aku sudah lewat karena ringku. Alhamdulillah, aku sehat sampai sekarang. Dan kupompakan semangat ini ke Birgaldo Sinaga waktu dia terkena. "Tenang, bro. Kita lewati fasenya.."
Yang aku tidak tahu, ternyata Birgaldo Sinaga punya penyakit bawaan yang dia tidak pernah cerita. Mentalnya drop dan dia menyerah. Imunnya turun. Hari ini, Sabtu 15 Mei 2021 jam 6 pagi, kudengar dia sudah pergi. Covid tertawa menang.
Aku terduduk lemas. Sedihnya sampai sekarang terasa. Aku tidak benar-benar marah padanya. Aku yakin Birgaldo Sinaga juga begitu. Kata Sujiwo Tejo, kerinduan paling dahsyat adalah ketika dua orang tidak saling komunikasi, tetapi mereka tetap mendoakan.
Aku menyesal. Kenapa tidak kutelpon dia? Kenapa aku harus gengsi menyapa? Kenapa ? Kenapa ? Dan banyak lagi penyesalan yang nyesak di dada.
Selamat jalan, bro. Sahabatku. Sebenarnya untuk menulispun aku sudah gak mampu. Deras airmataku. Semalaman aku tidak bisa tidur karena gelisah. Mungkin malam itu kau datang, mengucapkan salam berpisah. Aku saja yang orangnya kurang peka.
Ah.. aku rindu tulisan lebaymu. Tulislah yang banyak dengan gaya mendayu-dayu. Akan ku like semua postinganmu, meski selalu kuejek dengan mesra, "ini nulis tapi kok fotomu terpampang mulu.."Selamat jalan, bro. Bahkan kopipun terasa sangat pahit di lidah. (Penulis Adalah Pegiat Medsos)
Posting Komentar