Jambi, S24-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi JAMBI tahun 2026 diproyeksikan turun sebesar Rp 1 triliun dari APBD 2025 yang mencapai Rp 4,6 triliun. Penurunan ini terutama akibat kebijakan nasional, dimana sebagian dana transfer pusat, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan Dana Alokasi Umum (DAU), dialihkan untuk langsung dikelola kementerian.
Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi Jambi, Dr Noviardi Ferzi dalam sebuah opininya menjelaskan, menghadapi situasi ini, Pemerintah Provinsi Jambi menawarkan dua strategi: meningkatkan penerimaan pajak kendaraan bermotor serta memanfaatkan aset daerah melalui skema kerja sama sewa atau Kerja Sama Pemanfaatan (KSP).
"Namun, kedua strategi ini tidak sepenuhnya tepat, bahkan berpotensi menambah beban masyarakat tanpa menghasilkan pendapatan yang signifikan. Menekan kepatuhan dengan melibatkan camat, lurah, kepala desa, hingga RT berpotensi menimbulkan tekanan sosial," ujar Dr Noviardi Ferzi.
Disebutkan, masyarakat Jambi kini tengah menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan kesehatan. Dalam konteks seperti ini, menjadikan pajak kendaraan sebagai instrumen utama penutup defisit menunjukkan pendekatan fiskal yang tidak sensitif terhadap kondisi riil rakyat (Pratama, 2019).
"Pemanfaatan aset daerah pun menyimpan persoalan klasik: kurangnya transparansi dan rendahnya nilai manfaat bagi publik. Tidak jarang, aset strategis justru berpindah ke tangan swasta dengan harga murah, sementara kontribusi terhadap kas daerah minim (UNDP, 2022),"terang Dr Noviardi Ferzi.
Dikatakan, alih-alih memperluas manfaat, strategi ini justru dapat menutup akses publik terhadap fasilitas daerah. Menyikapi penurunan APBD, Provinsi Jambi memerlukan strategi pendapatan yang lebih terukur, adil, dan berkelanjutan.
Kata Dr Noviardi Ferzi, ada tiga prioritas yang seharusnya menjadi perhatian utama: Pertama, optimalisasi potensi sumber daya alam melalui hilirisasi. Produk unggulan seperti karet, sawit, dan kopi tidak boleh hanya dijual mentah, melainkan harus diproses di daerah.
Hilirisasi terbukti meningkatkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, serta mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara stabil (Haryanto, 2020). Potensi tambahan PAD dari hilirisasi cukup besar.
Misalnya, komoditas perkebunan masih menjadi andalan ekonomi Jambi, dengan kontribusi sekitar 21 persen terhadap PDRB, atau setara Rp50 triliun pada tahun 2021. Produksi sawit Jambi mencapai sekitar 2,6 juta ton per tahun, sementara karet berada di angka 310 ribu ton.
"Jika sebagian kecil saja produksi ini diolah menjadi produk hilir—seperti minyak goreng, ban, atau lateks olahan—nilai tambah yang tercipta bisa berlipat ganda. Riset menunjukkan, potensi pajak sektor sawit di Jambi bisa mencapai Rp2,9 triliun per tahun, tetapi realisasinya baru sekitar Rp2,08 triliun. Artinya, ada ruang fiskal lebih dari Rp 800 miliar yang bisa digarap hanya dari sektor ini," terang Dr Noviardi Ferzi.
Lebih jauh Dr Noviardi Ferzi menjelaskan, begitu pula dengan kelapa, di mana luas areal perkebunan mencapai 119 ribu hektare dengan produksi lebih dari 110 ribu ton per tahun. Produk hilir kelapa, seperti minyak, sabut, atau arang aktif, bahkan dapat meningkatkan nilai ekonomi hingga seratus kali lipat dibanding produk mentah.
Kedua, penguatan sistem pajak berbasis digital. Bukan tarif yang dinaikkan, tetapi mekanisme yang dipermudah. Digitalisasi sistem pembayaran meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui transparansi dan kemudahan transaksi (Bahl & Bird, 2018).
"Dengan sistem yang terintegrasi, potensi kebocoran penerimaan bisa ditekan, sementara basis pajak meluas secara alami. Ketiga, penghematan belanja daerah. Audit menyeluruh terhadap perjalanan dinas, kegiatan seremonial, hingga program non-prioritas dapat menghemat ratusan miliar rupiah setiap tahun," kata Dr Noviardi Ferzi.
Belanja yang efisien terbukti memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal (Susanti & Arif, 2021). Selain itu, pengelolaan aset daerah harus diarahkan pada skema Public-Private Partnership (PPP) yang akuntabel.
Ditambahkan, alih-alih disewakan jangka pendek, aset strategis bisa dikerjasamakan dalam pengembangan sektor-sektor produktif.
Misalnya, kawasan wisata Geopark Merangin dapat dikembangkan melalui PPP dengan melibatkan investor swasta dan BUMD untuk membangun infrastruktur ramah wisata, seperti eco-lodge, transportasi dalam kawasan, serta pusat edukasi geologi.
"Dengan demikian, potensi wisata yang selama ini terbatas pada tiket masuk dapat berkembang menjadi sumber PAD dari retribusi, pajak hotel, restoran, hingga jasa transportasi lokal. Contoh lain adalah pemanfaatan potensi energi terbarukan di daerah hulu Sungai Batanghari," ujar Dr Noviardi Ferzi.
Disebutkan, keuntungan ganda tercipta: kas daerah bertambah, sementara masyarakat menikmati listrik dengan biaya terjangkau. Lebih jauh, Provinsi Jambi perlu mengembangkan instrumen pajak berbasis lingkungan.
Beban fiskal seharusnya diarahkan kepada perusahaan tambang dan perkebunan skala besar yang memiliki dampak ekologis signifikan, bukan kepada rumah tangga biasa.
Pajak lingkungan ini sesuai dengan prinsip keadilan fiskal, di mana pihak yang merusak lingkunganlah yang menanggung biaya pemulihan (Kementerian Keuangan, 2023). Dengan langkah-langkah ini, Jambi tidak perlu membebani masyarakat demi menutup defisit.
Sebaliknya, strategi fiskal berbasis efisiensi, hilirisasi, digitalisasi, PPP, dan keadilan lingkungan akan memperkuat struktur ekonomi daerah sekaligus meningkatkan PAD secara berkelanjutan.
"Beberapa titik memiliki debit air yang cukup untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik mikrohidro. Jika pemerintah daerah menggandeng swasta dalam skema PPP, proyek mikrohidro ini bukan hanya memberi pemasukan PAD dari bagi hasil energi, tetapi juga meningkatkan rasio elektrifikasi desa,"pungkas Dr Noviardi Ferzi. (S24-Red)
0 Komentar