Bane Raja Manalu Nikmati “Kemewahan Tanpa Mahal” di Geosite Geopark Sibaganding. (Foto: IST)

Simalungun, S24 – Anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara III, Bane Raja Manalu, melakukan kunjungan ke Geosite Geopark Sibaganding, Minggu (13/10/2025) kemarin. Kunjungan ini bukan sekadar agenda politik, melainkan ajakan kepada masyarakat untuk kembali mencintai dan menghargai kekayaan alam yang dimiliki Sumatera Utara, khususnya kawasan Danau Toba.

Geosite Geopark Sibaganding merupakan salah satu dari titik geosite dalam jaringan UNESCO Global Geopark Kaldera Toba (UGGKT). Kawasan ini menyimpan keindahan alami sekaligus menjadi rumah bagi berbagai jenis primata yang dilindungi. Uniknya, keberadaan primata di lokasi tersebut telah lama hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.

Primata di Sibaganding dulunya dijaga oleh almarhum Pak Manik, sosok yang dikenal sangat mencintai alam dan satwa. Setelah beliau meninggal, tugas itu diteruskan oleh anaknya, Datim Manik, yang tetap merawat dan menjaga keberadaan para primata dengan penuh dedikasi.

Dalam kunjungannya, Bane terlihat menikmati suasana tenang dan alami di lokasi tersebut. Ia bahkan mengajak masyarakat untuk merasakan sendiri sensasi berinteraksi dengan alam tanpa harus mengeluarkan biaya besar.

“Pernah menikmati sore tanpa mahal tapi terasa mewah? Datang saja ke Geosite Geopark Sibaganding. Cukup beli setandan pisang, lalu bagikan ke kera, monyet, dan beruk yang datang mendekat. Sibaganding bukan kebun binatang, tapi teater alam terbuka. Di situlah letak kemewahannya,” ujar Bane dengan senyum lepas.

Menurutnya, kemewahan sejati tidak harus selalu diukur dengan uang, melainkan dengan pengalaman yang menyentuh hati dan menyadarkan manusia akan hubungan harmonis dengan alam.
Bane Raja Manalu. 

Hidup Berdampingan dengan Alam

Bane juga menyoroti peran besar keluarga almarhum Pak Manik yang sejak tahun 1984 hidup berdampingan dengan alam di kawasan Sibaganding. Istri almarhum, yang kini meneruskan kebiasaan suaminya, memiliki cara unik memanggil primata dengan tiupan sangkakala bambu, yang membuat monyet dan beruk datang berkelompok dari balik pepohonan.

“Melihat bagaimana manusia dan alam bisa hidup berdampingan seperti ini adalah pelajaran berharga. Ini bukan sekadar wisata, tapi ruang edukasi dan konservasi,” tambah Bane.

Ia juga menilai bahwa pengembangan Geosite Sibaganding bisa menjadi model wisata berbasis konservasi yang berkelanjutan, di mana masyarakat menjadi bagian penting dari pelestarian lingkungan.

Singgah ke Kampung Halaman

Setelah berkunjung ke Sibaganding, Bane melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya di Three Hills (Tiga Dolok). Di sana, ia menikmati secangkir kopi hangat di Narouli Kopi, kafe sederhana milik barista muda Leonardo Sinaga.

“Inilah kemewahan yang tak pakai mahal. Duduk di kampung halaman, menyeruput kopi lokal, dan berbincang dengan orang-orang yang kita cintai,” ucapnya.

Dorong Wisata Berbasis Alam dan Edukasi

Bane berharap, keberadaan Geosite Geopark Sibaganding dapat terus dikembangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai destinasi wisata edukatif. Selain menawarkan panorama alam, kawasan ini juga memiliki nilai ilmiah dan budaya tinggi yang dapat memperkuat posisi Danau Toba sebagai salah satu destinasi wisata kelas dunia.

“Kita harus menjaga keseimbangan antara alam, manusia, dan ekonomi lokal. Geopark bukan hanya tentang keindahan alam, tapi juga tentang edukasi dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya,” tutup Bane.

Dengan pesona alam yang menakjubkan, keramahan warga, serta filosofi hidup berdampingan dengan alam, Geosite Geopark Sibaganding menjadi contoh nyata bahwa kemewahan sejati tak selalu harus dibayar mahal — cukup dengan rasa syukur dan kepedulian terhadap bumi yang kita pijak. (S24-AsenkLeeSaragih)