Oleh: Fernando Albert Damanik

Delapan tahun lalu, tepatnya pada 21 Agustus 2016, angin harapan berembus kencang dari Desa Tomok. Di sana, di hadapan ribuan pasang mata yang penuh harap, Presiden Joko Widodo melontarkan sebuah janji besar: menuntaskan pembangunan Jalan Lingkar Danau Toba sebelum masa jabatannya berakhir pada 2019. Janji itu, diperkuat oleh kehadiran jajaran menteri, terdengar seperti musik merdu, sebuah proklamasi bahwa era isolasi di lingkar danau terindah di dunia ini akan segera berakhir.

Kini, hampir satu dekade berselang, gema janji itu telah memudar menjadi bisik kecewa di pesisir Simalungun. Musik merdu itu ternyata hanya dimainkan untuk "seberang sana". Sementara Samosir dan Toba bersolek dengan aspal mulus, dermaga modern, dan homestay yang menjamur, jejak roda pembangunan itu seolah kehilangan arah, tak pernah menemukan jalannya untuk tiba di beranda depan Danau Toba: Kabupaten Simalungun. Janji Presiden itu karam, tenggelam dalam ironi pembangunan yang timpang.

Paradoks Etalase dan Halaman Belakang

Danau Toba telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Prioritas, sebuah label mentereng yang menyedot triliunan rupiah dari kas negara. Namun, di lapangan, proyek raksasa ini menciptakan sebuah paradoks yang menyakitkan: ia membangun "etalase" yang berkilau di beberapa titik, sambil membiarkan "halaman belakang" tetap kumuh dan terabaikan.

Simalungun, yang secara geografis merupakan pintu gerbang utama bagi wisatawan, justru menjadi representasi paling nyata dari halaman belakang yang terlupakan itu. Ruas jalan kritis yang seharusnya menjadi scenic route kelas dunia—membentang dari *Haranggaol, melalui Sihalpe, Binangara, hingga Tigaras*—adalah monumen kegagalan perencanaan. Kondisinya lebih mirip jalur off-road daripada akses destinasi super prioritas. Batu-batu terjal, lumpur saat hujan, dan debu saat kemarau adalah santapan sehari-hari warga. 

Ini bukan sekadar masalah kenyamanan. Ini adalah soal harkat dan martabat ekonomi. Bayangkan seorang petani mangga dari Haranggaol atau petani kopi dari Purba. Setiap kali panen, mereka harus berjudi dengan nasib. 

Jalan rusak berarti biaya transportasi membengkak, waktu tempuh bertambah, dan kualitas hasil panen menurun setibanya di pasar. Posisi tawar mereka di hadapan tengkulak hancur lebur bahkan sebelum transaksi dimulai. Negara, melalui kelalaiannya, secara tidak langsung memiskinkan warganya sendiri di tepi danau yang dijanjikan akan menyejahterakan.

Di Mana Benang Kusut Birokrasi dan Politik?

Kita harus berani bertanya lebih dalam: mengapa Simalungun dianaktirikan? Alokasi anggaran multi-tahun dari Kementerian PUPR yang digelontorkan sejak 2016 jelas ada. Lalu, di mana sumbatannya? Ada beberapa kemungkinan simpul masalah yang membentuk benang kusut ini:

1.  *Lemahnya Representasi Politik:* Apakah para legislator dari daerah pemilihan ini selama bertahun-tahun kurang bergigi dalam mengawal aspirasi? Proyek strategis nasional membutuhkan pengawalan politik yang tanpa henti, bukan sekadar retorika saat reses.

2.  *Fokus Pembangunan yang Keliru:* Bisa jadi, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) dan kementerian terkait terlalu fokus pada pembangunan ikon-ikon yang "Instagrammable" dan cepat terlihat hasilnya. Mereka lupa bahwa fondasi pariwisata berkelanjutan adalah konektivitas yang merata.

3.  *Disfungsi Koordinasi Antar-Lembaga:* Mungkin terjadi tarik-ulur kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Saling lempar tanggung jawab dalam birokrasi adalah penyakit kronis yang seringkali mengorbankan kepentingan rakyat.

Suara dari Pesisir: Titipan Harapan untuk Wakil Rakyat* 🗣

Kini, mata dan harapan masyarakat Simalungun tertuju pada satu benteng terakhir: para wakil rakyat yang mereka pilih untuk duduk di Senayan dan gedung DPRD. Harapan yang dititipkan pada figur-figur seperti Bane Raja Manalu dan wakil rakyat lainnya bukanlah sekadar harapan kosong, melainkan sebuah tagihan atas suara yang telah diberikan.

Suara dari pesisir dan perbukitan Simalungun menggema jelas:
"Bapak dan Ibu yang terhormat, kami tidak butuh janji lagi. Kami sudah kenyang dengan retorika dan kunjungan seremonial yang hanya meninggalkan jejak ban mobil di jalan berlumpur kami. Yang kami butuhkan adalah *deru alat berat di lapangan*, bukan deru kata-kata di podium."

Foto Ilustrasi, jika jalan disentuh pembangunan bakal mulus seperti pada gambar rekayasa ini.

Masyarakat menitipkan pesan yang sederhana namun mendesak:

* *Jadikan Jalan Lingkar Simalungun prioritas utama* dalam setiap rapat dengar pendapat dengan Kementerian PUPR dan Bappenas. Jangan biarkan isu ini tenggelam oleh agenda lain.

* *Kawal anggarannya hingga tuntas.* Pastikan setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar jatuh menjadi aspal di tanah kami, bukan hilang di tengah birokrasi yang rumit.

* *Bawa penderitaan kami ke mimbar parlemen.* Ceritakan bagaimana anak-anak kami harus berjuang pergi ke sekolah, bagaimana hasil panen kami membusuk karena sulit diangkut. Jadilah penyambung lidah kami yang sesungguhnya.

* *Bangun koalisi lintas partai.* Persoalan jalan ini bukanlah masalah satu partai, melainkan masalah seluruh masyarakat Simalungun. Bersatulah untuk memperjuangkan hak kami atas pembangunan yang adil.

Bagi kami, jalan ini bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah *jembatan menuju kesejahteraan*, pintu menuju pendidikan yang lebih baik, dan akses menuju layanan kesehatan yang layak. Kegagalan memperjuangkan jalan ini adalah kegagalan dalam mewakili suara dan penderitaan konstituen Anda. Warisan Anda sebagai wakil rakyat akan diukur dari mulus atau tidaknya jalan di kampung halaman yang Anda wakili. Jangan biarkan kami terus menunggu dalam ketidakpastian.

Menagih Janji, Menjemput Keadilan

Sungguh sebuah ironi yang luar biasa. Di saat Presiden Jokowi mencanangkan pemerintahannya sebagai era emas infrastruktur, sebuah ruas jalan di KSPN Super Prioritas justru dibiarkan hancur. Ini bukan lagi sekadar kelalaian, melainkan sebuah kontradiksi terhadap narasi besar pembangunan nasional.

Pembangunan Jalan Lingkar Simalungun bukanlah proyek belas kasihan. Ia adalah sebuah keharusan strategis dan perwujudan dari sila kelima Pancasila: *Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia*. Waktu untuk menunggu sudah habis. Ini adalah tagihan atas janji yang belum ditepati dan sebuah perjuangan untuk menjemput keadilan yang terlalu lama tertunda.(S24-Penulis Adalah Tokoh pemuda dan Putra Asli Simalungun)