Simalungun, S24-Di bawah langit sore Purba Hinalang, lonceng Gereja St. Pio berdentang lirih. Umat Katolik berduyun-duyun datang, membawa bunga, doa, dan air mata. Ribuan orang dari berbagai penjuru Sumatera Utara memenuhi halaman gereja. Mereka datang bukan sekadar menghadiri pemakaman, tetapi memberi penghormatan terakhir kepada seorang gembala besar: Uskup Agung Medan Emeritus Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara, OFMCap.
Pada usia 91 tahun, Mgr. Pius berpulang dengan tenang di Rumah Sakit Santa Elisabeth, Medan, Jumat pagi (17/10/2025). Namun, jejak hidupnya yang penuh kesederhanaan dan kasih masih terus bergaung di hati umat yang pernah disentuhnya.
Bagi banyak orang, Mgr. Pius bukan sekadar pemimpin Gereja. Ia adalah Oppung, kakek rohani yang selalu menyapa dengan senyum dan sentuhan lembut.
Ia tak pernah canggung duduk bersama para petani, berbagi roti di gubuk sederhana, atau menyapa anak-anak di halaman gereja. Dalam kesunyian dan kesederhanaannya, hidupnya benar-benar menjadi doa.
“Monsinyur Pius pecinta kemiskinan. Ia menaruh hati kepada orang miskin, hidup sederhana, dan rendah hati. Tidak pernah jauh dari penderitaan umatnya,” tutur Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, Uskup Agung Medan yang kini menggembalakan keuskupan peninggalannya.
Sosok yang Dekat dengan Kaum Kecil
Bagi Mgr. Kornelius, sosok almarhum adalah cermin nyata dari Sabda Bahagia. “Ia miskin di hadapan Allah, lembut hati, haus akan kebenaran, penuh belas kasih, dan pembawa damai. Itulah warisan rohaninya bagi kita semua,” ucapnya dalam homili misa requiem di Gereja St. Pio, Purba Hinalang.
Lahir di Lawe Bekung, Aceh Tenggara, pada 12 Februari 1934, Alfred Gonti Pius Datubara adalah Uskup Agung pertama dari suku Batak.
Ia ditahbiskan sebagai imam pada 1964, dan sebelas tahun kemudian Vatikan menunjuknya menjadi Uskup Auksilier Keuskupan Agung Medan. Tak lama setelah itu, ia dipercaya memimpin keuskupan sebagai Uskup Agung Medan, jabatan yang diembannya dengan penuh dedikasi selama lebih dari tiga dekade (1976–2009).
Di bawah kepemimpinannya, Gereja Katolik di Sumatera Utara tumbuh subur. Ia memperkuat pelayanan sosial, membangun paroki-paroki baru, dan menjembatani hubungan lintas iman di tengah keberagaman etnis dan agama di tanah Batak.
“Mgr. Pius adalah jembatan persaudaraan antaragama. Ia tak segan berdialog dan bersahabat dengan pemuka agama lain,” kenang seorang umat di Medan. “Beliau mengajarkan bahwa iman sejati bukan memisahkan, tetapi merangkul.”
Hidup yang Membawa Damai
Dalam setiap langkahnya, kesederhanaan Fransiskan selalu melekat. Ia tak pernah mengumpulkan harta, melainkan membagikan apa yang dimilikinya. Banyak yang mengatakan, siapa pun bisa datang kepadanya, tanpa perlu merasa takut atau sungkan. Ia selalu mendengar dengan sabar, dengan hati.
“Ia tidak membawa damai dengan kata-kata keras, tetapi dengan senyum dan kelembutan,” tutur Mgr. Kornelius.
Ketika tubuhnya semakin renta, ia tetap hadir dalam doa, menjadi kekuatan senyap bagi banyak orang. Ia memilih tinggal sederhana, jauh dari gemerlap, seolah ingin menutup perjalanannya sebagaimana ia memulainya, dalam kesunyian dan kesetiaan.
Selasa (21/10/2025) sore, jenazah Mgr. Pius dimakamkan di halaman Gereja St. Pio, Purba Hinalang, Kabupaten Simalungun. Makamnya kini berdampingan dengan Oppung Dolog, simbol dua gembala besar yang pernah menggembalakan umat Batak.
Ribuan orang menghadiri prosesi pemakaman. Lantunan doa bergema, lilin menyala, dan bunga-bunga ditaburkan dengan air mata. Di antara keramaian itu, terasa damai yang sulit dijelaskan, seolah kehadirannya masih menyapa dari balik keabadian.
“Selamat jalan, Oppung Pius,” ujar seorang suster dengan suara bergetar. “Terima kasih telah mengajarkan kami arti menjadi miskin di hadapan Allah dan kaya dalam cinta kepada sesama.”
Warisan Abadi Seorang Gembala
Lebih dari sekadar uskup, Mgr. Pius Datubara adalah saksi hidup kasih Kristus. Ia meninggalkan warisan iman, teladan kesederhanaan, dan semangat damai bagi Gereja Katolik di Indonesia. Namanya kini tertulis bukan hanya di batu nisan, tetapi di hati umat yang pernah merasakan kasihnya.
Di Purba Hinalang, matahari sore tenggelam perlahan di balik bukit. Lonceng gereja kembali berdentang. Dan di antara gema itu, seakan terdengar bisikan lembut dari gembala tua yang kini telah beristirahat dalam damai: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”. (S24-Berbagaisumber/AsenkLeeSaragih)
Galeri Foto Prosesi Pemakaman Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)


0Komentar