Ketua Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Uni Lubis pada Webinar mengupas Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Jakarta, Sabtu (18/12/2021). (Foto : Matra/Ist).
(Matra, Jambi) – Kasus – kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia masih terus meningkat hingga saat ini. Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut bahkan menjadi “sajian” rutin tayangan televisi dan liputan berbagai media cetak maupun media online.
Kendati pemberitaan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut cukup gencar, namun kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih terus terjadi dan bahkan kasusnya meningkat. Berdasarkan catatan Komisariat Nasional (Komnas) Perlindungan Perempuan, kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia medio Januari – September 2021 mencapai 4.500 kasus.
Menyikapi meningkatnya tindak kekerasan seksual terhadap kaum perempuan di Tanah Air tersebut, jurnalis perempuan Indonesia yang tergabung dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) berupaya mengintensifkan peliputan mengenai penegakan hukum kasus – kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut. Upaya itu dilakukan agar penegakan hukum kasus kekerasan seksual terhadap perempuan berpihak kepada korban.
Namun upaya tersebut ternyata sering jauh panggang dari apau atau sulit diwujudkan. Ironisnya, para jurnalis perempuan yang meliput kasus-kasus dan proses hukum tindak kekerasan seksual terhadap perempuan sering mendapatkan perlakuan yang kurang manusiawi.
Pengalaman miris meliput kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut diungkapkan beberapa tokoh jurnalis perempuan dari berbagai daerah di Indonesia pada Webinar (Seminar Online) dalam rangka memperingati 14 tahun Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Jakarta, Sabtu (18/12/2021).
Para jurnalis perempuan yang mengungkapkan romantika peliputan kasus-kasus dan proses hukum kekerasan seksual terhadap perempuan pada webinar tersebut, Eka Rimawati dari CNN Indonesia/FJPI Jaawa Timur, Cornelia Mudumi (Inews Jayapura/FJPI Papua), Anik Mukholatin Hasanah (RRI Surabaya/FJPI Jatim), Diana Saragih (fjpindonesia.com/FJPI Sumut), Fitri Madia (IDNTimes/FJPI Jatim) dan Nurmala (Puja TV Aceh/FJPI Aceh).
Ketua FJPI, Uni Lubis pada kesempatan tersebut mengatakan, peliputan dan pemberitaan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diharapkan dapat menjadi pendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pengesahan RUU TPKS tersebut penting sebagai payung hukum yang berkeadilan kepada korban, khusunya di tengah terus meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Kita tentu merasa miris karena DPR belum jadi untuk meletakkan RUU TPKS ini sebagai usulan inisiatif DPR RI. Padahal urgensinya (kepentingannya) sangat tinggi. Apalagi kasus kekerasan seksual sangat banyak. Kalau dilihat dari laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, setidaknya ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap hari atau bisa dikatakan dalam setiap dua jam ada tiga orang perempuan yang menjadi korban,”paparnya.
Kurang Bukti
Pengalaman miris meliput kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dialami jurnalis perempuan, Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim). Kasus kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang diliputnya, yakni kasus pencabulan dan pemerkosaan di salah satu pondok pesantren di Jombang tahun 2019.
Pelaku kasus kekerasan seksual terhadap perempuan tersebur, yaitu putra Kyai dari pondok pesantren tersebut. Sebelumnya, tahun 2017, kasus tersebuta sudah pernah diproses secara hukum. Namun karena kurang bukti, akhirnya proses hukum dihentikan. Korban kekerasan seksual terhadap perempuan di pondok pesantren tersebut tidak berani angat bicara untuk mengungkap fakta.
“Di sinilah pentingnya jurnalis perempuan yang punya empati untuk bisa melakukan peliputan dan mendukung korban untuk bersuara,”katanya.
Menurut Eka, menjadi jurnalis yang meliput kekerasan seksual ini juga cukup riskan. Masalahnya sang jurnalis perempuan harus mengetahui siapa pihak yang salah dan siapa yang benar. Jurnalis harus mencari data, melakukan investigasi dan menganalisis serta berkonsultasi dengan para pakar. Sang jurnalis tidak serta merta percaya keterangan korban.
“Setelah diketahui secara detail peristiwa yang terjadi barulah keberpihakan kepada korban itu harus dilakukan oleh jurnalis. Keberpihakan jurnalis kepada korban itu perlu, apalagi korban tidak bisa membela dirinya,”ujarnya.
Jurnalis juga perlu melihat lebih jeli adanya upaya pelaku berkelit dari hukum. Kemudian jurnalis perlu melakukan pendampingan informasi dari media agar fakta-fakta bisa terungkap dengan jelas.
Dijelaskan, dalam kasus pencabulan di pondok pesantren Jombang misalnya, sempat terjadi kejanggalan ketika pelimpahan berkas dari Polda Jatim ke kejaksaan. Pihak kejaksaan menolak berkas tidak lengkap (P21) dengan alas an tidak cukup bukti. Lalu pertengahan Desember pelaku melakukan pra peradilan dan menggugat penyidik Rp 100 juta.
Jadi, lanjutnya, selama ini banyak kasus yang terhenti di penyidik karena tidak segera dilakukan penyidangan. Akibatnya muncul peluang terjadinya pra peradilan yang diajukan tersangka. Pra peradilan ini ujungnya menjadi subjektivitas hakim. Melalui pra peradilan, status tersangka itu dapat dihapuskan dan peluang korban untuk mendapatkan keadilan menjadi lebih panjang.
“Syukurnya, ketika itu banyak pihak yang mengawal kasus ini, termasuk intervensi media dalam penyebaran informasinya. Akhirnya permohonan tersangka ditolak dan dimenangkan oleh korban. Tentu ini menjadi semangat baru dan peluang hukum untuk perjuangan dan keadilan bagi korban terbuka kembali,”paparnya.
Para jurnalis perenpuan dari berbagai daerah di Indonesia pada webinar tersebut juga mengungkapkan keprihatinan mengenai sulitnya penegakan hukum terhadap korban kekerasan seksual terhadap peempuand I daerah masing-masing.
Jurnalis peremnpuan dari Aceh, Nurmala mengungkapkan, jalan panjang masi harus dilalui para korban kekerasan seksual terhadap perempuan di daerahnya untuk menggapai keadilan. Keberpihakan aparat penegak hukum terhadap para korban kekerasan seksual terhadap perempuan dinilainya masih minim.
Hal tersebut disebabkan sulitnya mencari bukti dan saksi dalam kasus tersebut. Kondisi tersebut membuat banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang akhirnya diselesaikan dengan damai. Kondisi seperti ini sering terjadi di Papua. Sedangkan di Aceh penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perenpuan sering diselesaikan dengan hukum qanon jinayah.
“Qanon ini tidak melindungi korban sepenuhnya, karena di sini untuk menjerat pelaku, penegak hukum hanya memberikan sanksi cambuk, pemotongan kurungan. Berbeda kalau penegak hukum menggunakan hukum positif yang tentunya lebih berpihak kepada korban,” ujar Nurmala. (Matra/Radesman Saragih).
Posting Komentar