Simalungun, S24-Di tengah pesona biru Danau Toba yang memukau, muncul geliat baru yang mulai menarik perhatian: mancing liar. Aktivitas yang dahulu hanya menjadi hobi sebagian warga lokal kini berpotensi berkembang menjadi wisata alam bernilai ekonomi tinggi, sekaligus sarana pelestarian lingkungan jika dikelola dengan bijak.
Ketersediaan Ikan dan Program Restocking
Upaya menjaga keseimbangan ekosistem Danau Toba terus dilakukan oleh pemerintah dan instansi terkait. Salah satunya melalui kegiatan restocking atau penebaran kembali benih ikan secara berkala.Jenis yang ditebar meliputi nilem, tawes, nila, ikan mas, patin, loyhan, pora-pora, hingga ikan Batak, spesies endemik yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tercatat pernah melakukan penebaran 266.000 ekor benih ikan di perairan Danau Toba. Langkah ini diharapkan mampu menjaga ketersediaan stok ikan sekaligus memperkuat sektor perikanan tangkap dan wisata mancing alami.
Dari Tradisi ke Wisata Hobi
Aktivitas mancing di Danau Toba sebenarnya bukan hal baru. Sejak lama, masyarakat di wilayah Hutaimbaru, Silalahi, Paropo, hingga Haranggaol sudah dikenal sebagai pemancing ulung. Bahkan, sejumlah warga mengaku pernah mendapatkan ikan mas raksasa hingga 15 kilogram di perairan Silalahi. Bahkan pernah warga Dusun Hutaimbaru St Berlin Manihuruk mendapatkan ikan bawal hingga ukuran 9 Kg dengan memancing.
Kini, di beberapa titik itu mulai bermunculan lapak-lapak pemancingan sederhana. Warga lokal membuka usaha kecil berupa penyewaan perahu, penyediaan umpan, dan tempat istirahat bagi pemancing. Perlahan, kegiatan ini berkembang menjadi sumber pendapatan tambahan di tengah menurunnya hasil tangkap tradisional.
Seperti di Sigapitan, Parapat, Paropo, Silalahi Kabupaten Dairi, Tongging, Kabupaten Karo, Haranggaol, Hutaimbaru Kabupaten Simalungun dan seputaran lingkar Danau Toba lainnya.
Regulasi Ketat untuk Menjaga Keseimbangan
Pemerintah daerah bersama Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Toba terus memperkuat pengawasan dan penertiban keramba jaring apung (KJA) yang dianggap menjadi salah satu penyebab pencemaran air. Selain itu, diterapkan pula larangan penebaran ikan non-endemik atau predator, guna menjaga keberagaman hayati khas Danau Toba agar tidak terganggu oleh spesies asing.
Regulasi lingkungan yang ketat ini menjadi fondasi penting agar wisata mancing liar tidak berujung pada eksploitasi dan penurunan kualitas ekosistem danau.
![]() |
Dormantuah Manihuruk mancing di Hutaimbaru, Danao Toba. |
Peluang Ekonomi dan Ekowisata
Potensi wisata mancing liar di Danau Toba sangat besar. Keindahan alam berpadu dengan tantangan memancing di perairan alami menjadikannya daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Bagi masyarakat sekitar, peluang ekonomi terbuka lebar — mulai dari penyediaan penginapan sederhana, jasa perahu, kuliner khas ikan, hingga penjualan souvenir tematik.
Pemerintah pun terus mendorong partisipasi aktif masyarakat lokal agar menjadi pelaku utama dalam pengembangan wisata Danau Toba. Pendekatan berbasis komunitas dinilai penting agar manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati investor besar, tetapi juga warga pesisir dan nelayan tradisional.
Ancaman Lingkungan yang Perlu Diwaspadai
Meski menjanjikan, geliat wisata mancing liar tetap menghadapi sejumlah tantangan. Pencemaran akibat sisa pakan dan kotoran ikan dari keramba masih menjadi persoalan utama. Selain itu, fenomena kematian ikan massal akibat turunnya kualitas air beberapa kali terjadi dan menimbulkan kekhawatiran masyarakat.
Pengelolaan berbasis ekowisata menjadi kunci. Kegiatan mancing harus diatur melalui zona khusus, pembatasan ukuran ikan tangkapan, serta pelarangan penggunaan alat tangkap destruktif seperti racun atau setrum.
Keterlibatan Warga, Kunci Keberhasilan
Di sejumlah daerah, warga mulai sadar bahwa kelestarian danau juga berarti kelangsungan ekonomi mereka. “Kalau dikelola dengan baik, mancing liar bisa jadi daya tarik wisata baru. Tapi kita juga harus menjaga air dan ikan di danau ini,” ujar salah seorang warga Haranggaol yang kini mengelola lapak pemancingan sederhana.
Langkah edukatif seperti pelatihan pemandu wisata, kampanye kebersihan, dan promosi ekowisata berbasis komunitas mulai digagas untuk mendukung pengembangan wisata yang berkelanjutan.
Menuju Wisata Mancing Liar yang Berkelanjutan
Beberapa daerah lain di Indonesia, seperti Waduk Jatiluhur (Jawa Barat) dan Danau Ranau (Sumatera Selatan), telah membuktikan bahwa wisata mancing dapat dikelola secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Model serupa bisa menjadi acuan bagi pengembangan Danau Toba ke depan.
Dengan dukungan regulasi, restocking yang konsisten, serta peran aktif masyarakat lokal, mancing liar di Danau Toba berpotensi menjadi ikon wisata baru Sumatera Utara — memadukan keindahan alam, tradisi, dan tanggung jawab menjaga warisan ekosistem danau terbesar di Asia Tenggara ini.(S24-AsenkLeeSaragih)
0Komentar