Tapsel, S24 - Banjir bandang yang meluluhlantakkan Desa Garoga bukan sekadar bencana alam. Namun peristiwa ini adalah peringatan keras dari alam dan peringatan yang selama puluhan tahun diabaikan karena hilangnya desa dalam sekejap, tersapu lumpur dan kayu gelondongan, menjadi bukti paling telanjang bahwa ekosistem Batangtoru sedang runtuh di depan mata.
Warga menatap puing-puing rumah mereka dengan getir, bertanya bagaimana kawasan yang dahulu teduh, hijau, dan stabil kini berubah menjadi ruang penuh kecemasan setiap kali hujan turun. Pertanyaan mereka sederhana, namun tajam, “Sampai kapan kerusakan ini dianggap sebagai peristiwa musiman?”
Dulu, masyarakat Batangtoru hidup selaras dengan alam. Sebab hutan menjadi sumber pangan, obat, air, sekaligus ruang spiritual karena ladang padi, jagung, kopi kampung, serta kebun-kebun campuran tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga menjaga stabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Batangtoru.
Namun harmoni itu rusak ketika deru ekskavator mulai membelah bukit, membuka hutan, dan mengantar masuk industri ekstraktif.
Sehingga masyarakat yang selama puluhan tahun merawat hutan justru tersingkir oleh kekuatan modal yang memburu keuntungan jangka pendek dan Negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, sering kali hanya menjadi penonton bahkan kadang menyediakan “karpet merah” ketika hutan ulayat berubah menjadi HGU dan konsesi industri.
Bencana Ekologis, Bukan Sekadar Hujan Deras
Ketika Desa Garoga tersapu banjir bandang, masyarakat tidak hanya kehilangan rumah. Namun mereka kehilangan pegangan hidup karena kayu-kayu besar yang meluncur seperti gelombang tsunami mengungkap akar persoalan yang selama ini coba ditutupi, yaitu, "Pembukaan hutan berskala luas telah meruntuhkan daya serap tanah dan melemahkan fungsi hulu sungai sebagai penahan air karena ini bukan rahasia namun ini fakta yang selama ini diabaikan.”
Temuan mengenai 110 titik bukaan hutan di hulu Sungai Garoga karena empat di antaranya milik perusahaan besar menguatkan bahwa kerusakan terjadi secara sistemik dan sisanya tidak jelas milik siapa, tetapi semuanya merupakan bagian dari rantai penyebab tragedi.
Masyarakat pun wajar bertanya:
1. Mengapa izin bisa begitu mudah diterbitkan?
2. Mengapa penegakan hukum berjalan begitu lambat?
Sebab ketika sebuah kasus sudah naik ke tahap penyidikan namun belum menghasilkan satu pun tersangka, maka kepercayaan publik pun terkikis.
Kemarahan warga bukan tanpa alasan dan negara seharusnya menjadi benteng perlindungan rakyat, bukan menjadi sponsor eksploitasi yang melampaui batas.
Sebab sistem perizinan yang longgar, pengawasan yang lemah, dan minimnya kajian lingkungan menunjukkan bahwa model pembangunan kita masih menjadikan masyarakat sebagai pihak yang dikorbankan seperti Desa Garoga kembali menjadi korban karena pemerintah lebih sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi ketimbang menjamin keselamatan rakyatnya.
Batangtoru Masih Bisa Diselamatkan
Meski kerusakan besar telah terjadi, maka harapan belum padam karena Batangtoru masih dapat diselamatkan jika arah kebijakan segera diperbaiki bukan melalui retorika, tetapi melalui langkah nyata:
1. Menghentikan ekspansi industri ekstraktif di kawasan rawan.
2. Menggelar audit menyeluruh terhadap seluruh izin perusahaan.
3. Memulihkan hulu sungai melalui rehabilitasi berbasis masyarakat.
4. Menguatkan hak kelola masyarakat adat dan lokal.
5. Membangun sistem peringatan dini yang benar-benar berfungsi.
Sebab langkah-langkah ini bukan sekadar tuntutan kelompok lingkungan hidup namun ini adalah kebutuhan mendasar untuk menjamin keselamatan dan keberlanjutan hidup masyarakat Batangtoru.
Desa Garoga boleh saja hilang, namun pesan yang ditinggalkannya tidak boleh ikut tenggelam. Sebab pesan itu harus menjadi pegangan karena Batangtoru pernah menjadi benteng kehidupan bagi masyarakat sekitarnya, namun benteng itu kini retak dan jika negara tidak segera bertindak tegas, maka masyarakat khawatir bahwa Desa Garoga bukan tragedi terakhir, melainkan permulaan dari bencana yang lebih besar.
Jadi, dengan menyelamatkan Batangtoru bukan hanya soal memperbaiki lingkungannya namun ini adalah soal menghormati martabat sebagai warga negara dan menjamin ruang hidup yang aman bagi generasi mendatang.(S24-Red)
Jalan Garoga–Anggoli Ditutup Sementara, Kendaraan Hanya Bisa Melintas Sore hingga Pagi.
Jalan Garoga–Anggoli Ditutup Sementara, Kendaraan Hanya Bisa Melintas Sore hingga Pagi.

.jpg)
.jpg)
.jpg)

0Komentar