Tak ada yang benar-benar siap menghadapi hari itu. Lembah Sumatera berubah menjadi ladang duka. Air turun bukan sekadar hujan, ia datang sebagai amukan, menyeret rumah, kenangan, dan doa-doa yang belum sempat selesai.

Di antara lumpur yang mengubur segalanya, di bawah kayu-kayu patah dan reruntuhan yang dingin, seorang anak kecil terperangkap.

Tak ada tangis. Tak ada suara minta tolong. Hanya napas kecil, yang nyaris tak terdengar. Waktu berlalu. Harapan mulai rapuh. Banyak yang sudah bersiap menerima kehilangan.

Namun Tuhan belum selesai menulis kisah hari itu. Saat tangan-tangan penyelamat menggali dengan sisa tenaga dan air mata yang ditahan, mereka menemukan tubuh mungil itu, diam, tertutup lumpur, terjepit di ruang sempit yang nyaris mustahil bagi kehidupan.

Detik terasa berhenti. Lalu, napas itu ada. Masih ada. Tangis pecah. Bukan hanya karena bahagia, tapi karena sadar, di tengah kehancuran paling kejam, hidup masih dipeluk oleh kasih Tuhan.

Anak itu selamat. Bukan karena kebetulan. Tapi karena ada doa-doa yang diam-diam dijaga langit. Ini bukan sekadar kabar baik. 

Ini adalah tamparan lembut bagi hati yang hampir putus asa, bahwa di balik puing dan duka, Tuhan masih bekerja dengan cara-Nya yang sunyi namun nyata. 

Mari kita syukuri mukjizat kecil ini. Dan mari kita doakan, semoga mereka yang masih dicari segera ditemukan, dan mereka yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk bertahan. Karena selama masih ada napas, harapan belum pernah benar-benar mati.(FB-Pakpahan Margana)