Pamatangsiantar, S24 - Gelombang kekecewaan publik terhadap Kementerian Sosial memuncak setelah sederet aturan baru terkait penggalangan bantuan kemanusiaan dianggap memperlambat respons terhadap bencana di Sumatera. Di tengah rumah yang hanyut, jalan longsor, dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal, Mensos justru menambah lapisan izin, audit, dan prosedur administratif yang membuat bantuan rakyat tersendat.

Sementara masyarakat bergerak cepat mendirikan posko, mengumpulkan donasi, mengevakuasi korban, negara justru menghadang dengan kewajiban berkas dan stempel. Banyak aktivis kemanusiaan menyebut langkah ini sebagai “tamparan” bagi warga Sumatera yang sedang berjuang.

Ironinya? Saat bantuan ke luar negeri dikirim, pemerintah bisa bergerak gesit tanpa banyak syarat. Tapi untuk rakyat sendiri, Mensos justru menebalkan dinding birokrasi.

Api Kemarahan Membesar: “Negara Memperlambat, Rakyat Bergerak Sendiri”

Sejumlah relawan di Sumatera Utara, Sumbar, dan Aceh menyebut aturan baru ini tak manusiawi. “Ini darurat, bukan seminar. Orang lapar tidak butuh audit dulu,” ujar seorang koordinator relawan yang menolak menyebut nama.

Di media sosial, kemarahan semakin meluas. Narasi kekecewaan berubah menjadi gelombang sentimen bahwa pemerintah pusat tak lagi memahami kebutuhan daerah. Unggahan bernada sinis terhadap Mensos berseliweran, menuduh kementerian tersebut “lebih menjaga formulir daripada nyawa.”

Seruan Viral: “Sumatera Merdeka” Muncul Sebagai Ekspresi Ketidakpuasan

Dalam 24 jam terakhir, tagar #SumateraMerdeka dan #DaruratTanpaIzin trending di X (Twitter). Seruan ini bukan gerakan politik terorganisir, melainkan luapan frustrasi publik yang merasa dipinggirkan oleh pemerintah pusat.

Sentimen tersebut muncul sebagai bentuk protes ekstrem, gambaran betapa jauhnya jarak antara penderitaan rakyat dan kebijakan kementerian.

Warganet menulis, “Kalau urusannya bantuan ke luar negeri, semua lancar. Kalau bantu rakyat Sumatera? Duluan banjir surut daripada perizinan Kemensos.”

“Kami bukan minta diprioritaskan, tapi jangan dipersulit. Wajar orang marah sampai teriak Sumatera Merdeka.”

“Negara hadir? Yang hadir justru Mensos dengan map tebal penuh syarat.” Ungkapan ini mencerminkan krisis kepercayaan, bukan keinginan politik untuk memisahkan diri. Namun kerasnya reaksi publik tak bisa diabaikan.

Pengamat kebijakan publik menyebut ulah Mensos sebagai pemicu ledakan kemarahan yang sudah lama terpendam.

Menurut mereka, publik merasa pemerintah pusat kerap memperlakukan daerah-daerah di luar Jawa sebagai “wilayah pinggiran” yang hanya diingat saat pesta politik, namun diperlambat saat darurat kemanusiaan.

“Ketika negara tidak mampu merangkul rakyatnya, wajar muncul ekspresi ekstrem. Tagar Sumatera Merdeka bukan gerakan separatis, tapi indikator keras: rakyat muak.”

Gelombang amarah belum surut. Publik menuntut Kemensos, mencabut syarat izin berlapis untuk penggalangan bantuan darurat. Menghapus kewajiban audit khusus untuk donasi rakyat saat bencana. Membuka jalur cepat kemanusiaan tanpa birokrasi berlebihan.

Mensos diminta menjelaskan ke publik, mengapa aturan justru mempersulit saat daerah berduka.

Mengapa empati dipaksa lewat stempel. Kasus ini menunjukkan satu hal serius, ketika negara menomorsatukan administrasi di atas kemanusiaan, rakyat akan mencari caranya sendiri untuk bersuara.

Dan suara itu hari ini menggema keras, “Jangan hambat rakyat membantu rakyat. Jangan perlakukan Sumatera seperti halaman belakang negeri.”

Bila Mensos tak mengubah arah kebijakan, bukan tak mungkin gelombang ketidakpuasan publik akan semakin melebar.(S24-AsenkLee)